Senin, 22 Oktober 2012

PENGERTIAN DAN HUKUM DARI TAHLILAN

PENGERTIAN DAN HUKUM DARI TAHLILAN

 Pengertian dan hukum dari tahlilan-Tahlilan adalah acara ritual (serimonial) memperingati hari kematian yang biasa dilaku-kan oleh umumnya masyarakat Indone-sia. Acara tersebut diselenggarakan keti-ka salah seorang dari anggota keluarga telah meninggal dunia. Secara bersama-sama, setelah proses penguburan selesai dilakukan, seluruh keluarga, handai tau-lan, serta masyarakat sekitar berkumpul di rumah keluarga mayit hendak menye-lenggarakan acara pembacaan beberapa ayat al Qur’an, dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan untuk mayit di “alam sana” karena dari sekian materi bacaannya ter-dapat kalimat tahlil ( لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ) yang diulang-ulang (ratusan kali), maka acara tersebut biasa dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Pada saat itu pula, keluarga mayit menghidangkan makanan serta minuman untuk menjamu orang-orang yang se-dang berkumpul di rumahnya tersebut. Biasanya acara seperti itu terus berlang-sung setiap hari dari hari pertama hingga hari ketujuh, kemudian dilanjutkan pada hari ke-40, hari ke-100, hingga mengin-jak tempo setahun serta tiga tahun dari waktu kematian, dengan hidangan yang disajikan disetiap acaranya biasanya akan lebih istimewa, dengan model hidangan yang berbeda-beda sesuai dengan adat kebiasaan yang biasa berjalan di tempat tersebut. Sehingga secara sepintas acara tersebut layaknya sebuah pesta kecil-kecilan belaka, bahkan tidak jarang muncul senda gurau dan gelak tawa di dalam acara tersebut. Sehingga akhirnya muncul opini publik yang memberikan kesimpulan bahwa acara tersebut adalah merupakan salah satu bagian dari ciri khas penganut mazhab Syafi’i.

Dalil pembolehan perjamuan tahli-lan

      Orang yang membolehkan acara per-jamuan tahlilan mempunyai dua argumen yaitu argumen naqli (nash) dan argumen ‘aqli (akal).

Adapun argumen naqli, mereka berdalil-kan keterangan dari kitab Hasyiyah ‘ala Maraqy al Falah karangan Ahmad ibn Ismail Ath Thahawy, yaitu (yang artinya):
“Dimakruhkannya hukum penghidangan makanan oleh keluarga mayit, bertenta-ngan dengan keterangan yang diriwayat-kan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad  yang shahih dari Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari laki-laki Anshar, ia berkata :

))خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ r فِي جَنَازَةٍ  فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَتِهِ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ وَ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا وَرَسُولَ اللهِ r يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ((رواه أبو داود و أحمد

“Kami bersama Rasulullah r keluar menuju pemakaman janazah, sewaktu hendak pulang muncullah isterinya mayit, mengundang untuk singgah, kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah pun mengambil makanan tersebut dan kemu-dian para shahabat turut mengambil pula dan mencicipinya dan pada mulut Rasulullah r terdapat sekerat daging”.

Hadits tersebut menunjukkan bahwa diperbolehkan keluarga mayit menghi-dangkan makanan, berikut mengundang masyarakat terhadap hidangan tersebut”. 

      Landasan lain yang digunakan seba-gai alat justifikasi oleh pihak yang mene-rima acara tersebut adalah melalui argumen ‘aqly (akal) yaitu tepatnya me-lalui istihsan (menganggap sesuatu itu baik berdasarkan logika)

Bantahan

      Ahmad ibn Ismail Ath Thahawy menggunakan dalil  naqli yang dilansir dari Sunan Abi Daud, namun apabila kita bandingkan dengan hadits yang sama dari kitab asalnya (Sunan Abi Daud dan Musnad Imam Ahmad) mempunyai per-bedaan yang sangat signifikan dibanding-kan dengan hadits aslinya.

Berikut adalah hadits yang asli dari Abu Daud dalam kitabnya Sunan Abi Daud :

))خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ r فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ r وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ  فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ r يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ((رواه أبو داود و أحمد

“Kami bersama Rasulullah r keluar menuju pemakaman janazah, maka aku melihat Rasulullah r di atas kuburan sedang beliau mengajarkan kepada orang yang menguburkan mayit tersebut: "Lapangkan di kedua bagian kakinya (mayit),lapangkanlah di bagian kepala-nya, maka sewaktu hendak pulang mun-cullah seorang wanita, mengundang untuk singgah, kemudian ia menghidangkan ma-kanan. Rasulullah r pun mengambil makanan tersebut dan kemudian para shahabat turut mengambil pula dan mencicipinya, dan bapak-bapak kami melihat pada mulut Rasulullah r sekerat daging”. 

      Perbedaannya adalah, dalam versi Ath Thawa

wy lafadz hadits diberi dhamir mudzakkar ghaib (امْرَأَتِهِ) yang mengan-dung arti “isterinya si mayit” sedangkan dalam aslinya atau dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ahmad, lafadz tersebut adalah tanpa diberi dhamir mudzakkar ghaib      (امْرَأَةٍ ) yang artinya “seorang wanita”

    Sisi pentingnya adalah ketika lafazah tersebut diberi dhamir mudzakkar ghaib  (امْرَأَتِهِ) maka pengertiannya adalah wanita yang memanggil Rasulullah r beserta para shahabat sepulang dari penguburan jenazah, kemudian menghidangkan ma-kanan yang dicicipi oleh Rasulullah r beserta para shahabatnya, adalah isteri-nya mayit (keluarga mayit). Dan karena Rasulullah r mencicipi hidangan terse-but, maka mengadung arti sunnah (taqri-riah) terhadap proses penghidangan ma-kanan oleh keluarga mayit, sekaligus undangan serta mencicipi hidangnya. Implikasi hukumnya adalah acara perja-muan tahlilan adalah merupakan bagian dari sunnah rasul

    Tetapi lain halnya apabila lafazh tersebut tanpa diberi dhamir Mudzakkar Ghaib (امْرَأَةٍ). Maka pengertiannya adalah wanita tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan mayit tersebut (bukan keluarga mayit). Bahkan di dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dinyatakan dengan jelas bahwa wanita tersebut adalah orang Quraisy yang hadir pada proses pemakaman.

    Dengan kata lain, hidangan yang sem-pat dicicipi oleh Rasulullah r berserta shahabatnya w adalah hidangan yang disajikan bukan oleh keluarga mayit, me-lainkan oleh pihak lain. Apabila demikian, maka sejatinya hadits tersebut tidak ada hubungannya dengan permasalahan aca-ra perjamuan tahlilan. Sebagai konse-kuensinya adalah batal-lah argumen yang menerima acara tersebut.

      Dan adapun argumen mereka de-ngan berargumen ‘aqliy model istihsan. Maka hal ini merupakan alasan yang ti-dak dapat dibenarkan, sebagaimana yang di jelaskan dalam kitab Ushul Al fiqh Syafi’iyyah dikatakan bawa istihsan yang diartikan dengan berpindahnya hukum dari ketentuan dalil (Al Qur’an dan As Sunnah) kepada ketentuan kultur adalah ditolak. bahkan lebih tegas Imam Syafi’i menyatakan bahwa barangsiapa menga-malkan istihsan maka berarti dia telah menciptakan hukum sendiri.

    Maka sungguh tidak masuk akal apa-bila terdapat orang yang mengaku ber-madzhab Syafi’i, tetapi masih suka me-laksanakan acara perjamuan tahlilan.

Tahlilan dalam pandangan Islam

       Acara perjamuan tahlilan merupakan hal yang diada-dakan di dalam agama. Hal ini berdasarkan dalil naqli dan ‘aqli. 

Adapun dalil naqli adalah hadits mauquf (atsar) yang shohih dari shahabat Jarir bin Abdullah t beliau berkata :

))كُنَّا نَرَى الإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ ((رواه ابن ماجه

“Kami (para shahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta menghidangkan makanan merupakan bagian dari niyahah (mera-tapi mayat)” (R. Ibnu Majah)
dan diriwayatkan dari Ibn Abi Syaibah, bahwasanya :

قَدِمَ جَرِيْرٌ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ : هَلْ يُـنَاحُ فَبْلَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ ؟ قَالَ : لاَ، فَهَلْ تَجْتَمِعُ النِّسَاءُ عِنْدَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ وَ يُطْعِمُ الطَّعَامَ ؟ قَالَ : نََعَمْ، فَقَالَ : تِلْكَ النِّيَاحَةُ

“Shahabat Jarirt mendatangi shahabat Umar, lalu Umart berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit?” Jarir menjawab:”Tidak”, Umar Berkata : “Apakah ada diantara wanita-wanita kali-an semua, suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangan-nya?” Jarir menjawab : “Ya” Umar berkata : “Hal demikan itu adalah sama dengan niyahah”

Berkata Said bin Jubair t :

ثَلاَثَةٌ مِنْ عَمَلِِ الْجَاهِلِيَّةِ اَلنِّيَاحَةُ وَ الطَّعَامُ عَلَى الْمَيِّتِ وَ بَيْتُوْتةُ الْمَرْأَةِ ثَمَّ أَهْلَ الْمَيَّتِ لَيْسَتْ مِنْهُمْ

“Tiga bagian yang merupakan perbuatan orang-orang jahiliyah, yaitu niyahah, hidangan dari keluarga mayit  dan me-nginapnya para wanita di rumah keluarga mayit”
Dan adapun dalil ‘aqli tentang pelarangan acara tersebut adalah bahwasanya, hu-kum asal manusia di dalam agama Islam yaitu hendak menghilangkan atau meng-hindari pembebanan, hal ini sesuai de-ngan inti muatan pesan Rasulullah r :

) إِنَّ هَذَا الدِّينَ يُسْرٌ ( رواه النسائي

“Sesungguhnya Agama ini (Islam) adalah mudah” (HR. An Nasa’ai)
Acara perjamuan tahlilan haruslah ditolak dan tidak boleh  dilaksanakan karena di dalamnya terdapat unsur memberatkan kepada pihak keluarga mayit dan me-ngandung akses negatif yang tidak jarang acara tersebut pada akhirnya menimbulkan konflik di antara anggota keluarga mayit yang diakibatkan karena masalah harta yang dipakai sebagai biaya pelaksaan acara tersebut.

Berkata Imam An Nawawi rahimahullah :
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut adalah tidak ada dalil naqli-nya dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan” (Lihat: Al Majmu 5:186)

Kesimpulan

     Setelah kita perhatikan bersama, dari penjelasan di atas. Ternyata pendapat yang menolak/ melarang acara perjamu-an tahlilan-lah yang memiliki argumen yang kuat ; baik dari segi naqli maupun ‘aqli. Dengan demikian kesimpulan me-ngenai hukum dari acara perjamuan tahlilan adalah merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai oleh agama. Rasulullah r bersabda :

) كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ ( رواه النسائي

“Semua bid’ah adalah sesat dan semua kesesatan tempatnya di Neraka” (HR. An Nasa’ai)
Dan memang kesan dari acara perjamu-an tahlilan tersebut justru bertentangan dengan pesan Rasulullah r :

) اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ (رواه أبو داود

“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang tertimpa masalah yang menyibukkan” (HR. Abu Daud)

Jadi bukan keluarga mayit yang seharus-nya menghidangkan makanan, tetapi kita-lah yang semestinya mengirim maka-nan kepada mereka, karena dengan de-mikian berarti kita telah menolong sauda-ra kita yang sedang tertimpa musibah. Wallohul Muwaffiq.